Sumber: Study Finds (Gerhard Weber, Universitas Wina)
Jakarta, tvrijakartanews -Selama hampir satu abad, para arkeolog dan sejarawan mengira bahwa tengkorak yang ditemukan di sebuah makam kuno di Ephesus, Turki, adalah milik seorang putri Mesir. Namun, penelitian terbaru justru mengungkap bahwa tengkorak tersebut adalah milik seorang anak laki-laki yang kemungkinan besar mengalami masalah perkembangan signifikan.
Tahun 1929, arkeolog Austria Josef Keil dan timnya membuat penemuan menarik di monumen Octagon di Ephesus (kini Turki). Mereka menemukan sebuah sarkofagus marmer berisi air, lengkap dengan kerangka di dalamnya. Keil hanya mengambil tengkorak dari kerangka tersebut sebelum menyegel kembali makamnya. Tengkorak itu kemudian dibawa ke Greifswald, Jerman, tempat Keil bekerja sebagai profesor, dan akhirnya berpindah ke Universitas Wina saat ia menerima jabatan baru di sana. Tengkorak itu hanya dilabeli dengan catatan singkat bertuliskan "Tengkorak dari Ephesus."
Dilansir dari Study Finds, penelitian awal menyimpulkan bahwa rangka tersebut milik seorang perempuan bangsawan berusia sekitar 20 tahun, berdasarkan lokasi makam dan gaya arsitekturnya. Hal ini memunculkan spekulasi bahwa kerangka tersebut adalah milik Arsinoë IV, saudari tiri Cleopatra VII, yang diyakini dieksekusi di Ephesus sekitar tahun 41 SM
Hasil penelitian yang dipublikasikan di “Scientific Reports” mengungkap fakta yang sangat berbeda. Tengkorak tersebut ternyata milik seorang anak laki-laki berusia 11-14 tahun yang hidup antara tahun 205 dan 36 SM. Pengujian DNA juga menunjukkan adanya kromosom Y, yang secara tegas membantah dugaan sebelumnya. Analisis genetik lebih lanjut mengungkapkan bahwa anak laki-laki ini memiliki nenek moyang dari Semenanjung Italia atau Sardinia, bukan Mesir, sehingga menepis hipotesis bahwa kerangka itu milik Arsinoë.
Penelitian mendalam terhadap tengkorak menunjukkan bahwa anak tersebut mengalami tantangan perkembangan yang signifikan. Asimetri pada tengkoraknya mengindikasikan perkembangan yang tidak normal, dengan rahang atas yang kurang berkembang dan posisinya yang tidak biasa. Hal ini kemungkinan mempengaruhi fungsi dasar seperti mengunyah dan berbicara. Kondisi ini diduga disebabkan oleh kekurangan vitamin D atau mungkin sindrom Treacher Collins, kelainan genetik yang mempengaruhi struktur wajah.
Temuan ini memperjelas bahwa semua tulang di makam tersebut milik individu yang sama, mengukuhkan fakta bahwa kerangka itu tidak terkait dengan Arsinoë IV. Sebaliknya, ia adalah seorang anak laki-laki muda dengan warisan Romawi yang hidup di Ephesus selama dominasi Romawi.
Misteri arkeologi yang telah membingungkan para peneliti sejak 1982 akhirnya mendapatkan titik terang. Dalam penggalian makam kuno, sisa-sisa kerangka ditemukan bukan di sarkofagus asli, melainkan di ceruk ruang depan makam, sebuah penemuan yang semakin memicu teka-teki ilmiah.
Baru-baru ini, tim peneliti internasional yang dipimpin antropolog Gerhard Weber dari Universitas Wina menggunakan teknologi modern untuk menguak misteri ini. Mereka memanfaatkan pemindaian mikro-CT beresolusi tinggi hingga 80 mikrometer, menghasilkan gambar 3D tengkorak dengan detail luar biasa. Selain itu, mereka mengekstraksi sampel DNA dari dasar tengkorak dan telinga bagian dalam serta melakukan penanggalan radiokarbon.
Namun, misteri ini semakin rumit pada tahun 1982 ketika sisa kerangka ditemukan di ceruk ruang depan makam, bukan di sarkofagus aslinya. Situasi ini menambah lapisan kompleksitas pada kasus yang sudah membingungkan.
"Namun kemudian muncul kejutan besar: dalam pengujian berulang, tengkorak dan tulang paha keduanya dengan jelas menunjukkan adanya kromosom Y, dengan kata lain, laki-laki," jelas Weber dalam pernyataan yang dikutip dari Study Finds
Berbasis analisis DNA telah memberikan fakta mengejutkan yang membantah hipotesis lama terkait asal-usul individu yang diduga berasal dari Mesir kuno. Hasil menunjukkan bahwa nenek moyangnya berasal dari semenanjung Italia atau wilayah Sardinia, bukan dari Mesir, seperti yang sebelumnya diyakini. Penemuan ini menggugurkan teori lama yang selama ini menjadi perdebatan dalam dunia arkeologi.
Namun, bukan hanya asal-usulnya yang menarik perhatian para peneliti. Pemeriksaan mendalam pada sisa-sisa tubuh menunjukkan bahwa anak laki-laki tersebut mengalami tantangan perkembangan yang signifikan selama hidupnya. Tengkoraknya menunjukkan asimetri mencolok, di mana satu sisi berkembang berbeda dari sisi lainnya. Rahang atasnya yang kurang berkembang dan posisinya yang tidak biasa kemungkinan besar menyebabkan kesulitan dalam fungsi dasar seperti mengunyah dan berbicara.
Salah satu temuan paling signifikan adalah kondisi giginya. Gigi geraham permanen pertamanya, yang biasanya menjadi gigi dewasa pertama yang aktif digunakan, sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda pernah digunakan untuk mengunyah. Sebaliknya, salah satu gigi geraham depannya yang tumbuh belakangan menunjukkan keausan yang parah. Pola ini mengindikasikan adanya masalah serius pada kesejajaran rahang dan gigitannya.
Penemuan ini tidak hanya memberikan wawasan baru tentang asal-usul individu tersebut tetapi juga menyoroti tantangan medis dan perkembangan yang mungkin dihadapinya selama hidup. Fakta ini menjadi pengingat akan kompleksitas kehidupan manusia pada masa lampau, serta peran ilmu pengetahuan dalam mengungkap misteri sejarah.
Penemuan ini memunculkan pertanyaan menarik: Mengapa seorang anak laki-laki dengan tantangan perkembangan dimakamkan di sebuah monumen yang begitu megah? Octagon, yang terletak di pusat kota Ephesus kuno, menunjukkan bahwa anak tersebut memiliki arti penting, meskipun ia mengalami keterbatasan fisik. Meskipun budaya Romawi kerap bersikap keras terhadap individu dengan cacat, pemakaman yang penuh perhatian ini mengindikasikan bahwa ia mungkin berasal dari keluarga terpandang yang memastikan tempat peristirahatan yang layak baginya.
Penelitian ini membuka babak baru dalam sejarah bagi para arkeolog, sekaligus merangkai cerita yang sepenuhnya baru. Dengan lokasi makam Arsinoë IV yang masih menjadi misteri, para peneliti kini dapat melanjutkan pencarian tersebut sambil mendalami kisah anak laki-laki ini dan perannya dalam struktur sosial Ephesus kuno. ( Mita/Meisy )